PENGALAMAN di penghujung tahun 2008 masih membekas. Kisah yang tak mungkin aku lupakan menyadarkan bahwa penyerahan diri kepada Tuhan sebelum memulai pekerjaan (apapun bentuknya) sangat penting dikerjakan. Penilaian kepada orang lain tanpa memandang fisik, hal-hal yang tampak di luar, melainkan kesungguhan hati dalam melakukan berbagai pekerjaan menjadi bagian penting dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. 
Bulan Desember merupakan bulan yang sangat ditunggu kedatangannya. Pada bulan tersebut kita merayakan Natal, hari kelahiran Yesus Kristus. Berbagai kesibukan dilakukan. Mulai dari menghias ruang menggunakan replika pohon cemara lengkap dengan kerlap-kerlip lampu serta miniatur cantik malaikat, bola-bola warna, kerlip kertas mengkilap bahkan sebuah drama pun menjadi bagian tak terpisahkan menyambut hingar bingar Natal. Kebetulan, aku bersama kelompok teater GKJ Jatimulyo bergabung dengan kelompok Kambium Gloria Graha Yogyakarta, diminta kesediaanya menampilkan potret sebuah kehidupan kesenjangan masyarakat pasar tradisional dan pasar modern. GKJ Mertoyudan, Magelang, menjadi ajang bagi kami mengekspresikan diri.
Usai penampilan, hari sudah gelap. Aku, Daniel Swastika Aditya Aji (Daniel) musti mengantar kekasihku, Yohana Yekti Leksanani (Nana) mudik ke kampung halamannya, Kudus. Setelah membersihkan diri, kami berkemas, berpamintan lantas menyalakan mesin sepeda motor dan melaju. Air hujan membasahi kota Magelang. Rintik-rintiknya masih menghujam bumi. Kami musti hati-hati. Ban selip lantaran aspal yang licin sangat mungkin terjadi. Keselamatan hingga tiba di Kudus sangat didamba keluarga kekasihku. Namun, kami mengalami kesialan. Ban sepeda motor kami kempes, bocor.
Susah. Bekal yang kami bawa, cuaca yang tidak bersahabat, hari yang kian malam, membuat kami kerepotan menemukan tukang tambal ban. Kami berjalan di rintik hujan, menemukan tukang tambal ban. Sepanjang perjalanan, kami teringat satu hal yang terlupakan sebelum kami mengerjakan berbagai hal. Doa. Kami lupa untuk berdoa.
“Ini pasti peringatan Tuhan lantaran kita lupa berdoa sebelum berangkat.”
Kami mengambil sikap, berdoa. Mohon ampun atas kelalaian kami. Menemukan tukang tambal ban dan menambal ban yang bocor. Lega rasanya. Sepeda motor kembali melaju. Kami meneruskan perjalanan. Kota Semarang adalah tujuan kami sebelum ke Kudus. Rumah kerabat menjadi jujugan yang tidak boleh dilewatkan. Njajal pakaian manten merupakan janji yang telah kami sepakati. Kami memang berencana melangsungkan pernikahan. Berbagai persiapan musti kami lakukan, termasuk njajal pakaian manten.
Usai melunasi janji, kami melanjutkan perjalanan ke Kudus. Tiba di jalan Demak, waktu menunjukkan pukul 23.00 wib. Awan masih gelap. Rintik hujan terus menimpa bumi. Jalanan lengang membuat kami memacu laju kendaraan. Sebuah bus yang mengangkut serombongan kami lewati. Kecepatan laju sepeda motor membuat kami berada di depan bus yang juga memacu kecepatannya. Tiba-tiba, sebuah kejadian yang tidak terduga kami alami.
Aku terkejut. Kekasihku panik. Sepeda motor kami melaju tidak terkendali, ngepot ke kanan dan ke kiri. Perasaan kami tidak karuan mengingat bus yang ada di belakang kami melaju dengan kecepatan tinggi. Senam jantung yang kami alami akhirnya berhenti. Kepot kanan kepot kiri sepeda motor kami akhirnya berhenti. Bus di belakang kami melintas. Lega rasanya tidak terjadi hal yang dapat membuat kami celaka.
Kami tertegun setelah meneliti keadaan sepeda motor. Ban belakang sepeda motor kami kembali kempes. Kali ini pasti lebih parah dibanding kejadian yang kami alami saat awal kami berangkat. Laju sepeda motor yang cepat, beban berat yang kami bawa membuat keadaan ban dalam tidak karuan. Menemukan tukang tambal ban kembali kami lakukan.
Tapi, jalan Demak, tengah malam, cuaca dingin, hujan turun, sepi, membuat nyali kami ciut. Berbagai pikiran buruk menghantui. Pencoleng datang, merampas harta yang kami miliki, mendapat kesakitan, membayang di benak. Aku keder. Kekasihku takut. Bayang-gayang terlambat bertemu dengan keluarga di Kudus semakin menambah kalut pikiran. Sebuah sepeda motor dari belakang kami tampak mendekat dan berhenti. Pengendara itu melihat ke arah kami lantas berlalu.
Kembali kami nuntun sepeda motor yang kempes ban belakangnya, melihat ke arah pengendara sepeda motor yang tadi melongok kami. Hingga sebuah sepeda motor yang lain berhenti lantas sang pengendara membuka pembicaraan
“Kenapa sepeda motornya, mas?” tanyanya.
“Bannya kempes. Kami butuh tukang tambal ban,” jawabku.
“Oke mas. Saya jalan dulu ya. Nanti, kalau melihat tukang tambal ban, saya suruh menunggu,” katanya sambil berlalu.
Ah, kelegaan yang sempat aku rasakan, harapan agar sang pengendara mencarikan tukang tambal ban sirna. Dia hanya memberikan janji yang belum pasti bakal terwujud. Kami melanjutkan perjalanan, nuntun sepeda motor dengan sisa tenaga dan lelah yang bergelayut. Hingga sebuah drama kehidupan kembali kami alami.
Di seberang jalan kami melintas, tampak beberapa orang yang tengah asyik mengejakan sesuatu di sebuah pos ronda. Menyaksikan gelagat yang dilakukan, pastilah orang-orang itu sedang pesta minuman keras. Suara yang keras, gelak tawa tak beraturan membuatku yakin atas kelakuan mereka.
“Aku wedi mas. Gek-gek….,” kata Nana.
Aku menangkap rona takut di wajah kekasihku saat seorang dari kumpulan itu mendekat. Penuh sabar aku menenangkannya agar tidak berprasangka buruk dan menanti segala yang hendak pemuda itu lakukan. Penuh was-was kami menunggu.
“Ban-e bocor mas?” tanyanya.
“Iya e mas. Padahal kudu nang Kudus," jawabku. “Ngerti tukang tambal ban apa ora mas?” tanyaku.
“Lha nanging kudu nuntun rada adoh lho. Gelem ora mas. Nang ngomahku,” sahut pemuda itu.
Aku mengiyakan, senang pemuda itu mau menolong. Uap alkohol tercium dari mulutnya yang nerocos mewawancarai kami. Aku tidak peduli dengan kelakuannya, menenggak alkohol. Bagiku, dia adalah malaikat penolong. Meringankan beban yang aku tanggung.
Setelah melewati beberapa kelokan, sampailah kami di rumah pemuda itu. Pemuda itu membangunkan emaknya dengan suara lantang. Menyuruh emaknya segera membukakan pintu tanpa menghiraukan pertanyaan yang beliau lontarkan. Pemuda itu lantas mengambil peralatan tambal ban dan membongkar ban belakang sepeda motor kami.
“Mas e iki butuh ditulung. Ban motor e bocor. Wis tho! Rasah takon-takon,” kata pemuda itu menghentikan emaknya yang bertanya kepada anaknya.
Di sela-sela menunggu, segelas air minum hangat disuguhkan guna mengusir dingin yang menyergap. Sukacita melingkupi kami. Mendapat pertolongan fisik dan batin. Beberapa kardus makanan yang diberikan di GKJ Mertoyudan, Magelang saat berpamitan aku serahkan kepada pemuda itu. Kami pun ingin berbagi sukacita dengan orang lain. Meski tidak sebanding dengan pertolongan yang kami terima, aku yakin pemuda dan keluarganya sangat senang menerima pemberian kami.
Sehari di penghujung tahun 2008, selama perjalanan dari Yogyakarta ke Kudus, Tuhan mengajarkan kepada kami untuk berserah kepadanya sebelum beraktivitas. Tidak berprasangka buruk kepada orang lain dan mau berbagi agar sukacita senatiasa dirasakan. Terimakasih Tuhan. (KOKO)
*) Warga GKJ Jatimulyo, Wilayah 10





